freepik.com/tawatchai07 |
Sebagai seorang muslim, kita pasti
sudah sering mendengar ucapan sabar dan syukur. Hal tersebut seolah sudah
menjadi kawan bagi kita dalam menghadapi suka duka perjalanan kehidupan yang
diamanahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dewasa ini, acapkali kita mendengar
nasihat tentang syukur, yang didasari pada firman Allah pada Qs. Ibrahim: 7,
artinya sebagai berikut.
"Dan (ingatlah juga), tatkala
Rabbmu memaklumkan; 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih'." (QS. Ibrahim: 7).
Dari ayat di atas, kita bisa pahami
bahwasannya Allah memang Maha Penyayang lagi Maha Bijaksana. Dia menjanjikan
untuk melipatgandakan kebahagiaan apabila kita mensyukuri nikmat dari-Nya.
Adapun mengenai siksa-Nya yang pedih, kita juga diminta untuk terus waspada
agar tidak terjerumus dalam kesengsaraan tersebut.
Mengenai hal itu, Imam Besar Masjid
Istiqlal sekaligus Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI), Prof.
Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, mengingatkan bahwa makna 'menambah (nikmat)
kepadamu' pada Qs. Ibrahim: 7, harus dipahami dengan baik. Jangan sampai
kita menjadi bagian hamba yang menyalahartikan ayat Allah.
Waspada akan hal itu, KH Nasaruddin
Umar memaparkan bahwa makna dari 'Allah akan melipatgandakan nikmat setelah
manusia bersyukur' ialah, Allah menambahkan kapasitas nikmat tersebut.
Misalnya, dengan bersyukur, Allah akan melapangkan dadanya, meneguhkan
pendiriannya, memutihkan jiwanya, ataupun meluruskan jalannya.
Sehingga jika dianalogikan, ketika
kita berbagi kepada orang lain dan tabungan berkurang, kita tidak perlu
khawatir. Karena dari berkurangnya tabungan tersebut, Allah tetap akan
melipatgandakan kenikmatan kita dengan melapangkan jiwa kita, memudahkan semua
urusan kita, atau meningkatkan kapasitas kebahagiaan kita.
Kemudian jika kita melihat lebih
jauh, definisi syukur ternyata memiliki arti yang mendalam. KH Nasaruddin Umar
mengatakan bahwa kategori seseorang bisa dikatakan bersyukur, ialah jika mereka
melibatkan jiwa dan raganya untuk membuktikan.
Jadi, syukur itu bukan hanya
sebatas memuji Tuhannya melalui lisan, melainkan menyertainya dengan berbuat
kebaikan terhadap sesama.
Selanjutnya, KH Nasaruddin Umar
menyebutkan kategori lain, yaitu jika seseorang memuji Allah dengan mengakuinya
dalam hati dan mengucapkannya dengan lisan, itu termasuk kategori tahmid.
Antara syukur ataupun tahmid, KH
Nasaruddin Umar mengakui bahwa keduanya termasuk hal terpuji. Karena sebagai
manusia, hakikatnya kita memang perlu senantiasa merasa berserah kepada Sang
Pencipta, Allah subhanahu wa ta'ala.
Sementara itu, KH Nasaruddin Umar
juga menyebutkan hal yang perlu kita hindari, yaitu tamaddah, yang merupakan
suatu aktivitas memuji Allah dengan lisan, namun tidak melibatkan hati atau
dukungan aksi yang positif.
Mengapa hal tersebut sangat
mengkhawatirkan?
KH Nasaruddin Umar menyebut, bahwa
tamaddah cenderung mengarahkan diri pada sifat golongan orang yang munafik. Hal
itu sangat mengkhawatirkan, karena Allah berfirman pada Qs. An-Nisa: 145,
artinya sebagai berikut.
"Sesungguhnya orang-orang
munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan
kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka."
(Qs. An-Nisa: 145).
Menjauhi sikap tamaddah, KH
Nasaruddin Umar justru berpesan agar kita menerapkan perilaku syakur, yaitu
suatu prilaku mensyukuri segala ketentuan yang datang dari Allah, baik itu
kebahagiaan, ataupun kekecewaan.
Dalam tingkatan ini, manusia jadi
terbiasa untuk berprasangka baik kepada Allah. Bahwasannya semua
ketetapan-Nya, memang baik untuk manusia itu sendiri.
Penulis: Nurul Fajriyah
Catatan: Tulisan ini juga diunggah pada laman Istiqlal.or.id