KH Nasaruddin Umar: Pahami Makna Syukur

By Nurul Fajriyah - April 28, 2021

freepik.com/tawatchai07

Sebagai seorang muslim, kita pasti sudah sering mendengar ucapan sabar dan syukur. Hal tersebut seolah sudah menjadi kawan bagi kita dalam menghadapi suka duka perjalanan kehidupan yang diamanahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Dewasa ini, acapkali kita mendengar nasihat tentang syukur, yang didasari pada firman Allah pada Qs. Ibrahim: 7, artinya sebagai berikut.

"Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'." (QS. Ibrahim: 7).

Dari ayat di atas, kita bisa pahami bahwasannya Allah memang Maha Penyayang lagi Maha Bijaksana. Dia menjanjikan untuk melipatgandakan kebahagiaan apabila kita mensyukuri nikmat dari-Nya. Adapun mengenai siksa-Nya yang pedih, kita juga diminta untuk terus waspada agar tidak terjerumus dalam kesengsaraan tersebut.

Mengenai hal itu, Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI), Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, mengingatkan bahwa makna 'menambah (nikmat) kepadamu' pada Qs. Ibrahim: 7,  harus dipahami dengan baik. Jangan sampai kita menjadi bagian hamba yang menyalahartikan ayat Allah.

Waspada akan hal itu, KH Nasaruddin Umar memaparkan bahwa makna dari 'Allah akan melipatgandakan nikmat setelah manusia bersyukur' ialah, Allah menambahkan kapasitas nikmat tersebut. Misalnya, dengan bersyukur, Allah akan melapangkan dadanya, meneguhkan pendiriannya, memutihkan jiwanya, ataupun meluruskan jalannya.

Sehingga jika dianalogikan, ketika kita berbagi kepada orang lain dan tabungan berkurang, kita tidak perlu khawatir. Karena dari berkurangnya tabungan tersebut, Allah tetap akan melipatgandakan kenikmatan kita dengan melapangkan jiwa kita, memudahkan semua urusan kita, atau meningkatkan kapasitas kebahagiaan kita. 

Kemudian jika kita melihat lebih jauh, definisi syukur ternyata memiliki arti yang mendalam. KH Nasaruddin Umar mengatakan bahwa kategori seseorang bisa dikatakan bersyukur, ialah jika mereka melibatkan jiwa dan raganya untuk membuktikan. 

Jadi, syukur itu bukan hanya sebatas memuji Tuhannya melalui lisan, melainkan menyertainya dengan berbuat kebaikan terhadap sesama. 

Selanjutnya, KH Nasaruddin Umar menyebutkan kategori lain, yaitu jika seseorang memuji Allah dengan mengakuinya dalam hati dan mengucapkannya dengan lisan, itu termasuk kategori tahmid.

Antara syukur ataupun tahmid, KH Nasaruddin Umar mengakui bahwa keduanya termasuk hal terpuji. Karena sebagai manusia, hakikatnya kita memang perlu senantiasa merasa berserah kepada Sang Pencipta, Allah subhanahu wa ta'ala.

Sementara itu, KH Nasaruddin Umar juga menyebutkan hal yang perlu kita hindari, yaitu tamaddah, yang merupakan suatu aktivitas memuji Allah dengan lisan, namun tidak melibatkan hati atau dukungan aksi yang positif.

Mengapa hal tersebut sangat mengkhawatirkan?

KH Nasaruddin Umar menyebut, bahwa tamaddah cenderung mengarahkan diri pada sifat golongan orang yang munafik. Hal itu sangat mengkhawatirkan, karena Allah berfirman pada Qs. An-Nisa: 145, artinya sebagai berikut.

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka." (Qs. An-Nisa: 145).

Menjauhi sikap tamaddah, KH Nasaruddin Umar justru berpesan agar kita menerapkan perilaku syakur, yaitu suatu prilaku mensyukuri segala ketentuan yang datang dari Allah, baik itu kebahagiaan, ataupun kekecewaan.

Dalam tingkatan ini, manusia jadi terbiasa  untuk berprasangka baik kepada Allah. Bahwasannya semua ketetapan-Nya, memang baik untuk manusia itu sendiri.

 

 

Penulis: Nurul Fajriyah

Catatan: Tulisan ini juga diunggah pada laman Istiqlal.or.id

 

  • Share:

You Might Also Like

0 coment�rios