Selami Makna Isra dan Mi'raj, Ada Kriteria Hamba yang Bisa Ketuk Pintu Langit

By Nurul Fajriyah - Maret 15, 2021



pixabay/max_gloin


Pada 27 Rajab, umat muslim khususnya kita selalu memperingati hari Isra dan Mi'raj. Peringatan ini sangat populer dengan rekam perjalanan Rasulullah yang diabadikan pada Qs. Al Isra ayat 1, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, 

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Qs. Al-Isra' Ayat 1)

Dalam peristiwa ini, diketahui bahwasannya Allah hendak menghibur Rasulullah yang saat itu sedang dalam keadaan duka akibat kehilangan orang-orang terkasihnya, yaitu istrinya, Siti Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib.

Kehilangan yang mendalam, ternyata membawa Rasulullah pada perjalanan yang mengesankan, terutama bagi kita, umat yang begitu merindukannya.

Dalam peristiwa Isra dan Mi'raj ini, Allah menyertakan banyak hikmah yang bisa umat manusia pelajari. Bahwasannya kekuasaan-Nya meliputi seluruh langit dan bumi, dan ketetapan-Nya jauh lebih hebat dan sempurna, jika dibandingkan dengan akal pikiran yang kita miliki. 

Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, dalam tausiahnya, pada acara yang diselenggarakan Universitas Jambi, dengan tema Mengetuk Pintu Langit Menebar Damai di Bumi dalam Menjaga NKRI, secara daring, pada Sabtu, (13/3/2021), beliau mengatakan bahwa dalam penjabaran Qs Al-Isra' ayat 1, terdapat makna yang bisa kita pahami tentang Isra dan Mi'raj, serta kategori seorang hamba sehingga bisa naik ke langit. Apa saja ya? Yuk simak penjelasannya sebagai berikut.

Dalam Qs. Al-Isra' ayat 1, Allah menggunakan kata Sub-ḥānallażī asrā bi'abdihī, yang artinya ialah memperjalankan hamba-Nya. "Allah mengatakan bi'abdihī, bukan asrā bi muhammadin, karena mengisyaratkan bahwa yang Isra Mi'raj itu bukan hanya (berlaku bagi) Nabi Muhammad. (Melainkan) siapapun yang merasa seorang hamba-Nya Allah, (tetap) punya potensi untuk (menjalani) Mi'raj," ungkap KH Nasaruddin Umar.

Namun, tentu hamba yang dimaksud, haruslah memenuhi kriteria istimewa. "Itulah sebabnya disebutkan asrā bi'abdihī, bi'abdihī juga berarti bahwa kategori hamba yang bisa mendaki langit itu, ialah hamba yang dalam hela nafasnya, selalu hanya untuk Allah semata. "Bukanlah hamba Allah yang musyrik, karena syaratnya bi'abdihī, bukan biabiidihi (yang berarti orang yang menyembah Allah juga menyembah berhala). Jangan melakukan hal syirik supaya bisa terhubung ke langit." jelas KH Nasaruddin Umar.

Dalam perjalanan Isra Mi'raj, Allah juga menyebutkan kata asrā bi'abdihī, dengan maksud menunjukkan bahwa dalam perjalanan Isra dan Mi'raj, Allah yang proaktif, sedang Rsulullah lebih pasif. "Jadi tidak bisa kita pertanyakan kendaraan apa yang dipakai oleh Nabi (Muhammad), pakaian apa yang dipakai sampai beliau bisa pergi ke sidratul muntaha, dan bertemu dengan Allah. Karena yang mengundang Nabi untuk datang ialah Allah, (adapun segala hal yang sudah Allah kehendaki, pastilah kun fayakun, jadi maka jadilah)," papar KH Nasaruddin Umar.

Selanjutnya, Allah menyebutkan kalimat lailam minal-masjidil-ḥarāmi ilal-masjidil-aqṣa, yang menerangkan bahwa perjalanan Isra dan Mi'raj ini, dilakukan pada malam hari. Kemudian adakah hal ini juga sempat terbesit dalam benak kita? kenapa prestasi spiritual selalu dilakukan di malam hari? Seperti halnya adanya lailtul qadr

"Jadi kalau kita mau mencapai ke langit, kategori yang perlu kita sempurnakan ialah kualitas lailiyah. Al-lail dalam bahasa syair Arab, tidak harus berartikan malam. Al-lail bisa berarti keheningan, kesyahduan, kerinduan, kehangatan, kepasrahan, kedamaian, kekhusyuan, itu makna dari lail. Jdi jika kita ingin mencapai ke langit, maka (pada setiap ibadah yang kita lakukan di malam hari), hadirkan juga keheningan, kesyahduan, kerinduan, kehangatan, kepasrahan, kedamaian, dan kekhusyuan, itulah situasi batin yang bisa mengorbitkan anak manusia ke langit," papar KH Nasaruddin Umar.

"Kualitas terbaik dalam upaya mendaki langit, ialah lailiyah (pada malam hari). Karena (pada setiap manusia), di siang hari itu, yang aktif ialah akal pikiran, sedangkan malam itu, yang aktif ialah kecerdasan emosional," lanjutnya.

Berikutnya, alasan lain mengapa lailiyah lebih berkualitas, karena lebih mudah bagi kita untuk khusyu dalam beribadah di malam hari. "Itulah mengapa dominan salat juga lebih banyak ditempatkan di malam hari, Allah maha tau, maka perpanjanglah salat malamnya," pesan KH Nasaruddin Umar.

Jadi, selain harus memiliki hati yang jernih dengan hanya mengharap rida Allah, kita juga harus menciptakan kualitas yang istimewa dalam setiap ibadah yang kita lakukan. 

Berlanjut pada kalimat berikutnya, alladzi barakna haulahu, yang berarti Allah memberkahi disekelilingnya, yaitu jika di Qs. Al-Isra' ayat 1, itu berarti kedua masjid yang dijadikan sebagai tempat salat dan bersujud kepada Allah. "(Dalam kata ini bermakna bahwa) keberkahan itu hadir diantara tempat sujud. Maka Ananda, permanenkanlah tempat sujud (yang Ananda miliki) itu. (Sediakan ruangan khusus) untuk 'menembus langit' di ruangan kita masing-masing, hal ini biasa disebut zawiyah. Permanenkan sajadahnya di suatu tempat, dimana tempat itu nanti (bisa mendatangkan) berkah."

Linuriyahụ min āyātinā, supaya kalian bisa menyaksikan tanda-tanda Kami. Dalam hal ini, Allah meminta kita untuk senantiasa membersihkan hati, supaya tanda-tanda kebesaran Allah bisa dengan jelas kita saksikan. "Bersihkan hatinya, tunaikan sunnah dan wajibnya, maka itu jangan sampai mengotori batin."

Kesucian batin bisa kita tempuh dengan meneguhkan hati sesuai dengan pedoman yang sudah Allah hadirkan dalam menuntun hidup kita, yaitu Alquran. "Jika seseorang memegang Alquran sebagai pedoman hidupnya, maka syurga ialah tempat kembalinya. Karena manusia asalnya dari syurga, dihadirkan oleh cinta, kemudian dilahirkan di bumi (sebagai tempat berjuang kita) untuk kembali ke syurga-Nya"

Kemudian, proses lain dalam menjalani hidup ialah dengan belajar dari alam semesta. KH Nasaruddin Umar, memandu kita agar tidak hanya terpaku untuk belajar dari penyampaian orang lain, sebgaimana mahasiswa yang hanya belajar dari dosennya. "Jauh dari itu, ilmu bisa kita dapati dari alam semesta. Contohnya, Nabi Sulaiman yang mengambil pelajaran dari seekor burung, Nabi Musa yang diberi arahan jalan oleh tangkai pohon saat tersesat di hutan belantara (bisa dibaca pada Qs Al qasas:30), bahwasannya (Allah juga menghadirkan) alam semesta ini  (sebagai) Alquran" terangnya.

"Ada Alquran maqtub yang tertulis, dan Aquran Kauniyah yaitu dalam bentuk alam semesta. Maka harus seimbanglah antara pemahaman Alquran yang tertulis, dan pemahaman petunjuk kekuasaan Allah pada alam semesta ini," jelas KH Nasaruddin Umar.

Dari hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa jka sebagai seorang hamba, kita mau mendaki langit, tidak ada lain cara yang bisa ditempuh, selain memperbaiki budi pekerti, dengan cara membersihkan pikiran dan jiwa kita. "Kemudian juga tentu mendisiplinkan perilaku kita, dalam menjauhi dosa. InsyaAllah kita akan mendapatkan apa yang diharapkan," ujar KH Nasaruddin Umar.

Kemudian, sebagaimana Qs. Al-‘Alaq Ayat 19, Allah berfirman,

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَٱسْجُدْ وَٱقْتَرِب ۩ 

"Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah Subhanahu wa ta'ala)."

Dapat kita ketahui, bahwa Allah sudah menyebutkan dalam firmannya, bahwa kategori hamba-Nya yang bisa miraj itu, ialah hamba yang tidak berjarak dengan Allah. "Maka cara untuk bisa selalu dekat dengan Allah, itu wasjud waqtarib, yaitu sujudlah kalian supaya bisa lebih dekat dengan Allah. (Kemudian atas izin-Nya, jiwanya bisa mendaki ke langit)," papar KH Nasaruddin Umar.

Kendati demikian, kata sujud juga memiliki makna yang mendalam dan perlu kita pahami. KH Nasaruddin Umar mengatakan, dalam Bahasa Arab, kata sujud itu juga perlu kita perhatikan. Dari kata sajada-yasjudu, sajada itu artinya menundukkan kepala ke lantai. Nanti bisa disebut sujud, jika yang sujud itu bukan hanya raganya, melainkan jiwanya juga menyertai. (Jika jiwanya tidak menyertai, itu bukan sujud, itu hanya sajada)."

Sedang perintah Allah ialah wasjud waqtarib, bersujudlah untuk dekat kepada Allah. "Totalitas kita dalam menyerahkan diri kepada Allah, (ialah yang seharusnya). Karena pada hakikatnya kita bukan siapa-siapa, dan bukan apa-apa. semuaya adalah milik Allah semata," jelas KH Nasaruddin Umar.

"Maka jika kita ingin mendaki ke langit, (tempuhlah dengan salat yang sempurna) karena salat (bisa kita maknai dengan) Mi'raj, dan cara yang paling efektif (untuk mengetuk pintu langit, ialah dengan berbisik kepada Allah melalui bumi) yaitu (dengan bersujud) dihadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala," pesan KH. Nasaruddin Umar.


Penulis: Nurul Fajriyah

  • Share:

You Might Also Like

0 coment�rios