Erami bayi ayam dengan tangan...ide dari Bapak. (Nurul Fajriyah) |
Telur ayam yang aku pandangi seperti batu, ternyata memiliki nyawa.
Semua berawal dari ayam betina yang senantiasa
datang dan menunggu sepanjang malam di depan rumah. Awalnya tidak berniat untuk
merawat sebab ini pasti milik orang lain. Hari berganti minggu, minggu berkali
lipat tiada orang mencari ayam yang hilang. Kemudian Mama beri dia ember untuk jadi tempatnya berteduh.
Setiap hari dia pulang, berlindung di rumahnya
yang baru. Suatu pagi, ada ayam jantan datang terus dekati ayam betina. Mereka
mengais makan bersama, sepanjang siang sampai menuju magrib, ayam jantan baru
mau pulang. Sampai akhirnya ayam betina itu menjadi ibu, dia bertelur, dengan
telur-telur yang berwarna putih. Cangkang yang senantiasa diam itu belum ada
tanda kehidupan. Beberapa ada yang di masak, beberapa ada yang dibiarkan agar
induk ayam bisa mengerami telurnya. Saat masa induk ayam mengerami telur, aku
sadari bahwa dia tidak makan. Lalu aku bertanya dengan Mama, "Ma, ko
ayamnya ga makan ya?" "Ayam kalo lagi erami anaknya dia puasa"
jawab Mama. "Dia gak laper?" "Ya laper tapi emang kodratnya ayam
begitu" jelasnya kembali.
Aku baru tahu itu, baru tahu bahwa ternyata
setiap mahluk memang menjalani kodratnya masing-masing. Jadi teringat kisah
laba-laba yang lihai membuat rumah yang kokoh baginya, kisah lebah yang tak
henti-hentinya mengumpulkan madu untuk menjadi persediaan makanan, kisah semut
yang kompak pindah tempat tinggal saat musim hujan datang atau mengumpulkan
makanan untuk persediaan di beberapa musim. Semua seperti sudah tau tentang
hal-hal yang harus dilakukan.
Beberapa hari menahan lapar dan dahaga, terkadang ibu ayam keluar
untuk minum dan makan. Lalu berpuasa kembali. Terhitung kurang lebih tiga
minggu, kemudian ada suara baru yang senantiasa berbunyi. Bayi ayam sudah lahir. Adikku yang
sangat bersemangat menceritakan itu semua pada kami seisi rumah. Dengan senyum
sumringah dia memberi tahu “piyik-piyik” yang dia dengar sepanjang hari. Bayi ayam itu kami beri nama Unyi.
“Akan ada anak yang senantiasa mengikuti
kemanapun induknya pergi. Pemandangan di depan rumah akan syahdu sekali,”
fikirku saat itu.
Namun, satu hari setelah bayi ayam itu menetas,
aku dapati kabar duka bahwa induk ayam itu sudah tiada. Induk ayam tiada di
ember (sebagai tempat tinggalnya) dia tiada disamping anaknya yang mencicit
terus menerus. Ada percakapan haru penuh pilu tentang anak dan induk ayam
setelah adikku menanyakan satu hal pada Mama.
Pada satu malam, sepulang aku beraktifitas,
adikku menunjukkan wajah sedih, dia berkata sambil berbisik di telinga, “Kaka,
tadi aku tanya Mama”, “tanya apa?” jawabku pelan. “aku tanya sama Mama ‘Mama,
itu Induk ayamnya bilang apa ya pas dia mau mati gitu?’ trus kata Mama ‘kaya
gini kali, “maaf ya, Mama ga bisa nemenin lagi, nanti jaga diri baik-baik ya
anak Mama.”’” Kemudian aku sedikit tertawa melihatnya membendung air mata
setelah bercerita, sampai akhirnya ikut menangis pula.
***
Di malam yang dingin, dia mencicit terus
menerus. “Kedinginan” kata temanku yang aku kabari melalui pesan singkat. Tanpa
fikir panjang, aku cari toples dan ku beri beberapa kain. Aku letakan di atas
lemari yang dekat dengan lampu. Pada akhirnya dia tak mencicit lagi. Menjelang Subuh,
aku lihat diatas lemari tidak ada toples (yang berisi bayi ayam). Aku coba
keluar, di dalam ember juga nihil. Kuatkan mental, mungkin setelah ini aku akan
dimarahi sebab membawa masuk bayi ayam ke dalam rumah. Tapi, ternyata tidak. Tidak
ada satupun yang marah, kemudian dimana bayi ayamnya?
–sebentar, aku tertawa dulu-
Bayi ayamnya dierami sama Bapakku menggunakan
tangan. “Bapak itu dia ga bisa nafas.” Sontak aku angkat tangan Bapak untuk memastikan bayi ayam aman. “Bisa
ko bisa. Habis bunyi terus, Bapak jadi gak bisa tidur.” Kata Bapak. Aku hanya
menggelengkan kepala sambil berkata dalam hati tentang tingkah Bapak yang
sungguh lucu di hari menjelang Subuh saat itu.
***
Hari berganti hari, bayi ayam tumbuh semakin
besar. Kini jika mau tidur, tidak perlu mencicit seperti anak bayi yang hanya
bisa menangis. Kini sudah tak perlu dierami sama tangan atau diletakkan di dalam
rumah sebab sudah mulai tahan dengan udara yang dingin. Kini semua berjalan
seperti sedia kala. Dari ayam, kami belajar tentang saling menjaga. Bahwasannya
waktu memang selalu berlalu, tidak ada waktu yang menetap. Dalam setiap
detiknya, dia begitu berharga, tidak pantas disia-siakan.
Unyi naik ke tangan adikku. |
1 coment�rios
Salam kenal unyi.. Semoga bisa jadi anak ayam yang baik ya💕💖
BalasHapus